11 Maret 2009

Dilema Parasetamol

Parasetamol merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan di dunia. Ia merupakan obat pilihan untuk meringankan demam dan nyeri, karena dikenal aman. Namun, 10 tahun yang lalu, sudah muncul hipotesis bahwa penggunaan parasetamol bisa meningkatkan risiko terjangkit asma. Digunakannya parasetamol sebagai pengganti aspirin di Amerika Serikat selama 1980-an dikatakan sebagai penyebab meningkatnya prevalensi asma pada anak selama kurun waktu tersebut.

Digantikannya aspirin dengan parasetamol, demikian menurut para peneliti, menyebabkan meningkatnya allergic immune response, serta mudah terjangkitnya anak oleh asma dan gangguan alergi lainnya. Sejak saat itu, sejumlah studi epidemiologis sudah melaporkan adanya kaitan antara asma dan penggunaan parasetamol pada kandungan, pada anak, dan pada orang dewasa. Studi-studi tersebut memberikan kesan bahwa penggunaan parasetamol mungkin merupakan faktor risiko penting berkembangnya asma.

Bukti terbaru yang mendukung hipotesis ini datang dari studi epidemiologis internasional mengenai asma pada anak-anak yang baru-baru ini dimuat dalam jurnal kedokteran The Lancet. Analisis yang dilakukan International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) ini melibatkan lebih dari 200 ribu anak yang berusia enam dan tujuh tahun dari 73 pusat penelitian di 31 negara. Orang tua atau wali anak diminta menjawab pertanyaan tertulis mengenai gejala asma, rhinitis, dan eksim yang diketahui dan mengenai beberapa faktor risiko, termasuk penggunaan parasetamol untuk menurunkan demam pada tahun pertama anak, serta frekuensi penggunaan parasetamol selama 12 bulan terakhir.

Studi ini mengidentifikasi bahwa penggunaan parasetamol untuk meringankan demam pada tahun pertama seorang anak ada kaitannya dengan gejala asma pada anak usia enam dan tujuh tahun. Keterkaitan ini tampak di semua kawasan utama di dunia, dengan peningkatan risiko yang diperkirakan sebesar 46 persen setelah disesuaikan dengan faktor-faktor risiko lainnya.
Keterkaitan yang tergantung dosis ini juga teramati antara gejala asma pada usia 6-7 tahun dan penggunaan parasetamol pada 12 bulan sebelumnya. Keterkaitan serupa juga teramati antara penggunaan parasetamol dan risiko timbulnya gejala asma yang berat. Sesuai dengan kalkulasi, proporsi kasus asma yang dapat dikaitkan dengan parasetamol berkisar 22 persen dan 38 persen.

Penggunaan parasetamol baik pada tahun pertama seorang anak maupun pada anak berusia 6-7 tahun juga dikaitkan dengan meningkatnya risiko gejala rhinitis and eksim. Ini mengesankan bahwa efek parasetamol tidak terbatas pada saluran pernapasan saja, tapi juga pada sejumlah sistem organ.

Identifikasi mekanisme yang mungkin mendasari keterkaitan antara parasetamol dan asma (serta gangguan alergi lainnya) tidak termasuk dalam studi ini. Tapi para peneliti lainnya telah mengajukan sejumlah mekanisme yang bisa diterima, terutama berkaitan dengan efek negatif parasetamol terhadap kemampuan tubuh menghadapi stres oksidan dan kemungkinan meningkatnya allergic immune response.

Para peneliti menekankan bahwa hubungan sebab-akibat tidak bisa dipastikan dari studi retrospektif semacam ini, karena berbagai prasangka yang mengacaukan keterkaitan ini. Misalnya, kita mengetahui bahwa infeksi saluran pernapasan karena virus pada bayi, seperti respiratory syncytial virus (RSV), dikaitkan dengan peningkatan risiko asma pada bayi tersebut ketika usia anak meningkat dan bahwa penggunaan parasetamol pada tahun-tahun tersebut bisa mengacaukan studi ini.

Studi ini menyumbang kepada debat mengenai apakah mengobati demam pada anak itu ada manfaatnya, suatu persoalan yang telah dibahas panjang-lebar oleh Fiona Russell dan kolega dalam Bulletin of the World Health Organization. Mereka mengatakan bahwa bukti ilmiah yang ada mengesankan bahwa demam merupakan respons yang universal dan biasanya bermanfaat dalam melawan infeksi; dan menindasnya dalam kebanyakan kasus tidak banyak bukti manfaatnya.

Sebaliknya, demikian menurut mereka, menindas demam terkadang menimbulkan efek yang berbahaya. Mereka menyimpulkan bahwa penggunaan obat secara luas untuk menurunkan demam sebaiknya dihindari. Mereka menganjurkan agar penggunaan obat pada anak sebaiknya dibatasi, dan dilakukan hanya pada situasi demam yang tinggi, ketidaknyamanan yang jelas, atau kondisi yang diketahui menimbulkan kesakitan.

Yang disepakati adalah perlunya uji acak yang terkontrol atas efek jangka panjang penggunaan berulang-ulang parasetamol pada anak-anak. Hanya dengan demikian dapat dikembangkan petunjuk penggunaan berbasis-bukti yang dapat direkomendasikan. Sembari menunggu hasil penelitian tersebut, parasetamol tetap merupakan obat pilihan untuk meringankan nyeri dan demam pada anak, yang harus digunakan sesuai dengan petunjuk Organisasi Kesehatan Sedunia yang menganjurkan dibatasinya penggunaan hanya untuk anak yang diserang demam yang tinggi (38,5 derajat Celsius atau lebih).

Penggunaan aspirin pada anak-anak usia muda tidak dianjurkan karena risiko timbulnya Reye's syndrome, komplikasi yang serius namun jarang terjadi. Parasetamol juga tetap merupakan obat pilihan untuk meringankan nyeri atau demam pada anak atau orang dewasa yang menderita asma, karena aspirin atau obat non-steroidal anti-inflammatory lainnya bisa merangsang serangan asma pada orang yang rentan terhadap kondisi ini.

KORAN TEMPO, Sabtu 7 Maret 2009, hal. A9, judul "Dilema Parasetamol".

Tidak ada komentar: